Kamis, 18 Agustus 2011

IMAJI MIMPI

Keberangkatan kereta api di pagi hari ini membawaku ke kota pendidikan Jogjakarta. Sudah 2 minggu ini aku berada di rumah. Mencari peluang-peluang usaha ataupun pekerjaan dan sisanya menghabiskan waktu bersama orangtua. Aku harap di Jogja suasana pikiran dan hati lebih jernih. Persiapan-persiapan menuju mimpi-mimpi akan aku bangun di Jogja. Itu harapanku. 

Sampai di mana aku sekarang? Pikiranku terus mengembara tak lepas dari percakapan kita terakhir bersua. Kenapa, mengapa, dan bagaimana, pertanyaan itu terus menghantui perasaanku. Haruskah seperti ini, kegundahan kini membuncah air yang mengalir menuju muara. Semakin tak menentu warna air dalam relung tubuhku. Warna-warni bertebaran membentuk pelangi. Indah, sungguh indah. Namun aku tak mampu, tak mampu memilikinya. Imajinasi itu terus berterbangan. Dan tak satu pun hinggap dalam nyataku. 

Ah, kumat lagi hayalan ini. Apa istilah yang paling tepat ya, untuk kebiasaanku memikirkan hal-hal yang sedang aku jalani. Pikiranku selalu mengembara. Seperti yang di atas tadi. Tu kan kambuh lagi. Oh, dah sampai Ngawi sekarang.

Ku perhatikan satu persatu orang-orang yang berada dalam gerbong kereta api ini. Kira-kira apa yang telah mereka capai dalam hidup mereka ya? Apa yang sudah mereka lakukan untuk keluarganya? Prestasi apa yang sudah mereka raih? Putaran mataku berhenti pada sesosok gadis muda. Simple, bebas, dan smart. Kesan itu terlihat dari cara berpakaian dan pilihan warna atau modelnya. Juga dari setiap gerak-gerik di atas tempat duduknya. Ah, iri aku dengannya. Begitu kuat karakter yang dia punya. Ups,, lihat matanya, bentuk mukanya, dan juga kulitnya. Tak tersentuh make up.

Tiga buah buku terbitan lokal mendarat di atas pangkuanku. Seketika menyadarkanku dari ruang pikir, tempat di mana aku bisa mendapat kenyataan, sejenak menghilangkan eksistensiku dalam dunia nyata.

Gila, sejauh itu aku terserap dalam ruang pikirku. Lambat dan pasti tanpa aku sadari. Kenapa aku bisa seperti ini? Gimana caranya menyumbat resapan-resapan di setiap lapisan otakku? Haruskah aku buat beton yang membungkus lapisan otak, ah tidak kuat kayaknya, masih bisa meresap. Harus dengan bahan yang tak tembus dengan air. Ya benar, seperti plastik atau semacam besi. “Misi mas” penjaja itu mengambil buku di atas pangkuanku. Hmmm.....

Aku coba ambil nafas dalam-dalam, meski udara kotor. Ku tenangkan diri dan ku coba untuk tidur saja, mencoba membawa diri ke dalam dunia mimpi.



2 komentar: